Menumbuhkan
nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan tantangan utama pendidikan.
Inflasi nilai, mencontek selama ujian nasional (UN), bocornya soal plus
jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain, menjadi tanda kegagalan
lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran. Indeks integritas
sekolah (IIS) bisa menjadi solusi? Jawabannya adalah tidak! Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Anies Baswedan memperkenalkan istilah baru kepada publik terkait
kebijakan UN, yaitu IIS. Indeks ini menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah
memiliki tingkat kejujuran dalam melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa
menjadi pertimbangan bagi perguruan tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa
baru.
Di
kalangan para ahli psikometrik, konsep indeks integritas ini bukanlah hal baru.
Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks integritas ini, mulai
dari teori klasik yang diawali Bird (1927, 1929), Crawford (1930), Dickenson
(1945), dan Anikeef (1954). Teori tentang indeks integritas kemudian
dikembangkan banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn, (1961), Angoff
(1974), Holland (1996), Wollack (1997, 2006), dan Sotaridona dan Meijer (2002,
2003).
Teori
tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki
kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang
diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya, kiranya
sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri pada perbandingan
distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek (copier) dan
yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas.
Teori
yang dikembangan Crawford, Dickenson, dan Anikeef masih berada di jalur yang
sama, yaitu menggunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan
dengan memasukkan variabel lain, seperti distribusi jawaban benar, baik melalui
analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara berurutan (string)
(Hanson et al dan Angoff, 1974) dan acak (random).
Integritas tes
Berbagai
macam teori indeks integritas, terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan
dalam konteks UN di Indonesia, karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu
varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama
ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat kejujuran.
Indeks
integritas yang menggunakan multivariabel sering diacu untuk mengatasi
kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary dan Tideman,
1997). Angoff (1974), misalnya, menggunakan indeks multivariabel untuk
menentukan level integritas. Namun, penggunaan multivariabel ini pun masih
banyak diperdebatkan para ahli psikometrik terkait sisi praktikalitas dan
efektivitasnya. Bagi publik, terutama kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan
teori yang dipakai Kemdikbud untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu
dipublikasi, atau paling tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi
bisa meneliti dan menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh
Kemdikbud dapat dipertanggungjawabkan.
Indeks
integritas tes (IIT) kiranya lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang
IIS, karena seluruh diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur
indeks kejujuran sebuah tes (UN) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan perilaku
jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas selalu terbatas.
Karena itu, adalah keliru menggeneralisasi hasil indeks integritas tes untuk
menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah.
Rahasia?
Sistem
pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan
dipublikasi kepada masyarakat, tetapi hanya menjadi informasi yang diberikan
pada sekolah dan perguruan tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini
membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN
yang bukan konsumsi publik? IIS dipakai untuk memberi tahu sekolah tentang skor
nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam menanamkan nilai
kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga dibutuhkan orangtua dan
masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.
Bila
secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah,
atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana
dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data
statistik jawaban benar dan salah dengan menggunakan kerangka teori tertentu,
di mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli
psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS sebagai
rahasia negara.
Publik
memiliki hak memperoleh informasi tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil
dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang diadakan oleh negara yang
memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama orangtua.
Menilai
kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis statistik jawaban
benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi
landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri.
Kejujuran merupakan sikap hidup yangperlu dilatih dan dibiasakan, didukung
dengan lingkungan budaya, struktur, dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya
nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai melalui
indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.
Kejujuran
sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu
melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu
gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi
praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten
diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat
peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan
tentang kriteria ketuntasan minimal yang sering menjadi sumber ketidakjujuran
guru dalam menilai siswa, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan
sekolah.
Hal-hal
ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga
pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih
diperdebatkan; tujuan, konsep dan metodenya dipertanyakan; dan sistem
pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik. IIS bukan hal fundamental
yang dibutuhkan bangsa ini.
1.
Judul
: Menilai Kejujuran
2.
Penulis
: Doni Koesoema A
3.
Tanggal
Penerbit : 22 April 2015
4.
Ragam
Bahasa : Pendidikan
5.
Sinopsis
atau Ringkasan :
Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana
anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka
datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan,
pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah
yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol
nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek,
menghapuskan peraturan tentang kriteria ketuntasan minimal yang sering menjadi
sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, transparansi, dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan sekolah.
6.
Keunggulan
:
-
Bahasanya
mudah dimengerti dan dipahami oleh pembaca
-
Dapat
menginspirasi bagi siswa-siswi
7.
Kelemahan
:
-
Terlalu
banyak teori menurut masing-masing tokoh
8.
Pendapat
Akhir :
Cukup baik
artikel ini untuk memotivasi para murid untuk menanamkan rasa kejujuran sejak
dini
Sumber :http://widiyanto.com/menilai-kejujuran/#more-623