JellyPages.com

Selasa, 05 Mei 2015


Menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan tantangan utama pendidikan. Inflasi nilai, mencontek selama ujian nasional (UN), bocornya soal plus jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain, menjadi tanda kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran. Indeks integritas sekolah (IIS) bisa menjadi solusi? Jawabannya adalah tidak! Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memperkenalkan istilah baru kepada publik terkait kebijakan UN, yaitu IIS. Indeks ini menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah memiliki tingkat kejujuran dalam melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa menjadi pertimbangan bagi perguruan tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa baru.

Di kalangan para ahli psikometrik, konsep indeks integritas ini bukanlah hal baru. Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks integritas ini, mulai dari teori klasik yang diawali Bird (1927, 1929), Crawford (1930), Dickenson (1945), dan Anikeef (1954). Teori tentang indeks integritas kemudian dikembangkan banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn, (1961), Angoff (1974), Holland (1996), Wollack (1997, 2006), dan Sotaridona dan Meijer (2002, 2003).

Teori tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya, kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek (copier) dan yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas.

Teori yang dikembangan Crawford, Dickenson, dan Anikeef masih berada di jalur yang sama, yaitu menggunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan variabel lain, seperti distribusi jawaban benar, baik melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara berurutan (string) (Hanson et al dan Angoff, 1974) dan acak (random).

Integritas tes

Berbagai macam teori indeks integritas, terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di Indonesia, karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat kejujuran.

Indeks integritas yang menggunakan multivariabel sering diacu untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary dan Tideman, 1997). Angoff (1974), misalnya, menggunakan indeks multivariabel untuk menentukan level integritas. Namun, penggunaan multivariabel ini pun masih banyak diperdebatkan para ahli psikometrik terkait sisi praktikalitas dan efektivitasnya. Bagi publik, terutama kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat dipertanggungjawabkan.

Indeks integritas tes (IIT) kiranya lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang IIS, karena seluruh diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur indeks kejujuran sebuah tes (UN) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisasi hasil indeks integritas tes untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah.

Rahasia?

Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat, tetapi hanya menjadi informasi yang diberikan pada sekolah dan perguruan tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN yang bukan konsumsi publik? IIS dipakai untuk memberi tahu sekolah tentang skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga dibutuhkan orangtua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.

Bila secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data statistik jawaban benar dan salah dengan menggunakan kerangka teori tertentu, di mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS sebagai rahasia negara.

Publik memiliki hak memperoleh informasi tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang diadakan oleh negara yang memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama orangtua.

Menilai kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis statistik jawaban benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri. Kejujuran merupakan sikap hidup yangperlu dilatih dan dibiasakan, didukung dengan lingkungan budaya, struktur, dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.

Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan tentang kriteria ketuntasan minimal yang sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.

Hal-hal ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih diperdebatkan; tujuan, konsep dan metodenya dipertanyakan; dan sistem pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik. IIS bukan hal fundamental yang dibutuhkan bangsa ini.

1.      Judul : Menilai Kejujuran

2.      Penulis : Doni Koesoema A

3.      Tanggal Penerbit : 22 April 2015

4.      Ragam Bahasa : Pendidikan

5.      Sinopsis atau Ringkasan :

Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan tentang kriteria ketuntasan minimal yang sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.

6.      Keunggulan :

-          Bahasanya mudah dimengerti dan dipahami oleh pembaca

-          Dapat menginspirasi bagi siswa-siswi

7.      Kelemahan :

-          Terlalu banyak teori menurut masing-masing tokoh

8.      Pendapat Akhir :

Cukup baik artikel ini untuk memotivasi para murid untuk menanamkan rasa kejujuran sejak dini
Sumber :http://widiyanto.com/menilai-kejujuran/#more-623

Jumat, 09 Januari 2015

Analisa Jurnal Tentang Perilaku Konsumen terhadap Pembelian Suatu Barang

Penelitian diadakan di Giant Hypermarket MOG di Jalan Kawi dan MATOS Hypermart di Jalan Veteran di kota Malang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan keputusan  pembelian konsumen terhadap chicken nugget dan untuk mengetahui faktor-faktor pengaruh. Jumlah sampel 100 responden dengan 50 konsumen dari setiap lokasi yang digunakan untuk mendapatkan data yang dipilih secara accidental sampling. Data dikumpulkan dari 19 Mei - 26 Juni 2013. Data primer dikumpulkan dengan metode survei menggunakan kuisioner struktural.  Analisis data terdiri dari dua tahap, yaitu analisis faktor dan analisis regresi berganda. Hasil dari penelitian ini bahwa konsumen membeli chicken nugget dengan merek dan kuantitas yang sama namun berdasarkan kebutuhan. Faktor "lingkungan sosial chicken nugget konsumen", "promosi, tempat dan komposisi chicken nugget", "harga dan merek chicken nugget", "promosi dan produk chicken nugget", jenis kelamin dan pekerjaan dapat meningkatkan pembelian konsumen terhadap produk chicken  nugget.
Sumber : http://fapet.ub.ac.id/wp-content/uploads/2014/01/PERILAKU-KONSUMEN-DALAM-PEMBELIAN-PRODUK-CHICKEN-NUGGET.pdf

Kamis, 08 Januari 2015

Bagaimana Perilaku Konsumen Terhadap Pembelian Belanja Online


4 Perilaku Konsumen Saat Belanja Online. Ini perlu anda ketahui jika anda menjadi seorang penjual online. Beberapa hal berikut mungkin dapat sedikit membantu anda dalam hal memperhatikan perilaku konsumen yang setidaknya dapat membantu konversi tingkat pembelian terhadap produk anda. Jangan heran pada saat pengunjung web toko online anda yang hanya sekedar bertanya namun tidak membeli produk dari toko anda hmmm.. apalagi tanyaknya udah panjang lebar tapi tidak jadi beli,,,sebel banget. Ini pernah saya alami. Ya sebagai penjual harus sabar meladeni pembeli apapaun karekaternya.

Inilah 10 perilaku konsumen yang patut kita ketahui jika kita berposisi sebagai penjual :

1. Menanyakan harga produk

Ini sering kali terjadi, meskipun harga sudah jelas di pajang pada web, harga produk tetap di tanyakan juga hadehh…:-D

Tips:

Tetap tanggapi dengan positif apapun yang di tanyakan konsumen. Apalagi konsumen tersebut adalah konsumen yang beru datang ke toko online anda ( konsumen baru ). Jangan biarkan ia kabur karena kesan acuh yang ia dapat dari tanggapan anda saat anda  merasa jengkel.

 2. Melakukan pemesanan namun tidak melakukan pembayaran

Kadang ada juga pembeli yang tertarik dan sampai memesan produk. Namun untuk selanjutnya konsumen tersebut tidak melakukan pembayaran produk atau sekedar tertarik iseng. Ini juga pernah saya lakukan saat saya berbelanja online, maklum saya tertarik produk tersebut padahal uang saya belum ada hehe..:-D. Ini salah satu perilakuk  konsumen saat berbelanja online. Mengapa ini bisa terjadi, karena berbelanja online kita dapat sesuka kita memilih produk dan memesanya tanpa malu untuk selanjutnya membatalkan pemesananya kita tersebut.

Tips:

Jika itu terjadi pada anda ( sebagai penjual online ), konsumen tersebut merupakan prospek yang bagus dan memungkinkan terjadinya pembelian terhadap produk anda. Tanggung jawab anda adalah selanjutnya mem-follow atau mengingatkan terhadap pemesanan yang dilakukan konsumen anda tersebut. Biasanya follow-up dilakuka 1-2 hari setelah pemesanan dilakukan oleh konsumen. Ini juga salah satu tips menfollow pengunjung prospek. Jika kita terlalu cepat melakukan followup, maka kencerungan konsumen malah merasa takut, seolah-olah ingin di paksa untuk membeli. Teknik dan tips menfolloup konsumen akan saya bahas di postingan selanjutnya. Karena dengan teknik followup yang baik akan mengingkatkan tingkat pembelian atas produk anda.

3. Butuh jaminan

Setiap berbelanja online konsumen pasti berhati-hati. Karena yang memang pada dasarnya berbelanja online adalah belanja dengan sistem kepercayaan. Jika konsumen sudah berani belanja di toko online anda, itu berarti konsumen tersebut sudah memberikan kepercayaannya terhadap toko online anda. Dari sinilah jangan kita hancurkan kepercayaan konsumen tersebut. Konsumen butuh jaminan atas produk yang dibelinya tersebut. Sudah terbukti banyak toko online yang memberikan jaminan atas produknya, terjadi tingkat penjualan yang tinggi setelah menerapkan “jaminan uang kembali”. Dan teknik menjamin konsumen seperti ini masih banyak lagi trik dan kata-kata yang digunakan. Jika kita bahas disini akan sangat lebar. Di postingan selanjutnya akan kita bahas secara mendetail bagaiman mana menjamin konsumen agar ia tidak ragu dan langsung membeli produk dari toko online kita.

Tips:

Contoh beberapa kalimat yang dapat menjamin konsumen sehingga ia merasa tidak sungkan mengeluarkan uangnya untuk membeli produk anda: “Garansi uang kembali jika produk tidak asli“,”Barang tidak sampai kami kirim ulang“. Dan masih banyak lagi yang lainya. Yang intinya adalah membuang rasa takut yang dimiliki konsumen saat berbelanja online.

 4. Jaga privasi

Tidak semua konsumen yang berbelanja online suka diketahui orang lain paket apa yang dikirim padanya. Banyak juga yang mengingiknan di jaga kerahasiaanya. Misalnya saat sering mendapat konfirmasi konsumen setelah melakukan pembayaran dengan pertanyaan : “Paket dibungkus polos ya mas“, “Nama produk janga ditulis ya mas“,dll.

Tips:

Usahakan beri kalimat yang membuat konsumen merasa nyaman. Misal:”Paket dibungkus polos dan rapih“. Ada kalimat rapih yang secara tidak langsung membuat konsumen tenang dan nyaman secara psikologi. Dan hal tersebut memang sangat berkaitan erat dengan salah satu dasar konsumen berbelanja, yaitu konsumen berbelanja karena sisi emosional.

Itulah 4 Perilaku konsumen saat berbelanja online yang dapat sharing pada teman semua. Semoga dapat membatu. Mari berdiskusi memalu form komentar jika ada yang ingin ditambahkan atau memberi saran. Saya dengan senang hati menanggabi komentar atau saran yang teman semua berikan